
Latar Belakang Penutupan JPO Rawajati-Cililitan
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang menghubungkan Rawajati, Jakarta Selatan, dengan Cililitan, Jakarta Timur, telah resmi ditutup oleh aparat gabungan sekitar dua minggu yang lalu. Penutupan ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap tawuran yang sering terjadi di kawasan tersebut, terutama di sekitar Kali Ciliwung yang menjadi jalur utama bagi pelajar dan warga sekitar.
Keputusan ini diambil setelah meningkatnya insiden tawuran antar-remaja yang kerap memanfaatkan JPO sebagai titik pertemuan. Aparat keamanan menilai bahwa menutup akses JPO dapat mengurangi risiko bentrokan dan meningkatkan keamanan di sekitar lokasi.
Dampak Penutupan bagi Warga
Kesulitan Mobilitas dan Aksesibilitas
Penutupan JPO menyebabkan banyak warga mengalami kesulitan dalam beraktivitas, terutama mereka yang bergantung pada jembatan ini untuk berangkat kerja, berbelanja, atau bersekolah. Alternatif rute yang tersedia dinilai kurang praktis karena memerlukan perjalanan lebih jauh, sehingga memperlambat mobilitas harian mereka.
Beberapa warga juga mengungkapkan kekhawatiran terkait keselamatan, terutama bagi lansia dan anak-anak yang sebelumnya mengandalkan JPO sebagai jalur aman untuk menyeberangi Kali Ciliwung. Dengan ditutupnya akses tersebut, mereka kini harus mencari rute lain yang lebih berisiko dan kurang ramah bagi pejalan kaki.
Aksi Nekat Warga: Memanjat Pagar untuk Menyeberang
Kesulitan yang dialami warga akibat penutupan JPO membuat sebagian dari mereka nekat mencari cara lain untuk tetap bisa menyeberang. Salah satu tindakan ekstrem yang dilakukan adalah memanjat pagar besi yang dipasang di kedua sisi jembatan.
Fenomena ini banyak disorot media karena beberapa warga bahkan menganggap aksi tersebut seperti tantangan dalam acara televisi Jepang Benteng Takeshi, di mana mereka harus menghadapi hambatan sulit untuk bisa mencapai tujuan mereka. Tindakan ini sangat berbahaya dan berisiko menimbulkan kecelakaan, namun tetap dilakukan karena keterbatasan akses resmi yang tersedia.
Keluhan dan Tuntutan Warga
Warga setempat menilai bahwa keputusan penutupan JPO dilakukan tanpa mempertimbangkan solusi alternatif yang layak bagi mereka. Mereka menuntut pemerintah segera mengambil langkah-langkah berikut:
- Membuka kembali JPO dengan sistem pengamanan yang lebih ketat guna mencegah tawuran tanpa harus menutup akses bagi masyarakat umum.
- Membangun fasilitas penyeberangan lain seperti zebra cross atau jembatan alternatif yang lebih aman dan nyaman bagi pejalan kaki.
- Menempatkan petugas keamanan di sekitar lokasi agar area JPO tetap bisa digunakan tanpa menjadi tempat tawuran atau aktivitas kriminal lainnya.
Banyak warga merasa bahwa tindakan menutup JPO tanpa menyediakan opsi lain menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan mereka.
Reaksi Pemerintah dan Aparat Keamanan
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi mengenai kemungkinan pembukaan kembali JPO atau rencana pembangunan jalur alternatif bagi pejalan kaki. Aparat keamanan tetap mempertahankan penutupan sebagai langkah strategis untuk mengurangi tawuran, meskipun terus mendapat tekanan dari warga yang terdampak.
Pihak pemerintah daerah diharapkan dapat segera mencari solusi yang tidak hanya mengutamakan aspek keamanan, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang sehari-hari bergantung pada jalur tersebut.
Kesimpulan
Penutupan JPO Rawajati-Cililitan yang bertujuan untuk mengurangi insiden tawuran justru menimbulkan masalah baru bagi warga sekitar. Kesulitan mobilitas, risiko keselamatan, hingga aksi nekat warga memanjat pagar menjadi bukti bahwa keputusan ini perlu ditinjau ulang.
Tanpa solusi yang jelas dari pemerintah, warga terus mendesak agar akses penyeberangan kembali dibuka atau diberikan alternatif yang lebih baik. Pemerintah diharapkan dapat menemukan kebijakan yang lebih bijak, sehingga keamanan dan aksesibilitas masyarakat dapat berjalan beriringan.