
Perpisahan Claudio Ranieri dan AS Roma Penuh Emosi
Claudio Ranieri kembali menarik perhatian publik sepak bola Italia setelah secara emosional mengucapkan selamat tinggal kepada AS Roma. Pria berusia 73 tahun itu menjadi sorotan dalam pertandingan terakhirnya bersama Cagliari di Stadion Olimpico, markas klub masa kecilnya, AS Roma. Meski Cagliari kalah, sorotan tertuju pada Ranieri yang tak kuasa menahan air mata saat mendapat tepuk tangan meriah dari ribuan Romanisti.
Ikatan Pribadi yang Tak Terlupakan
Bagi Ranieri, AS Roma bukan sekadar klub. Ia lahir dan besar di Trastevere, kawasan di jantung kota Roma. Meski karier kepelatihannya menjelajahi berbagai belahan Eropa, dari Inggris hingga Prancis, kecintaannya terhadap AS Roma tak pernah padam. Ia pernah dua kali menangani Roma (2009–2011 dan 2019), dan meskipun tidak memberikan trofi, loyalitas serta dedikasinya kepada klub selalu dikenang.
Kembali ke Olimpico sebagai Lawan
Momen paling mengharukan terjadi ketika Ranieri, kini pelatih Cagliari, kembali ke Stadion Olimpico dan disambut seperti pahlawan. Suporter Roma mengangkat spanduk bertuliskan “Grazie Mister” dan menyanyikan namanya. Bahkan para pemain Roma menghampirinya usai laga, memberikan pelukan dan tepuk tangan sebagai bentuk penghargaan. Ranieri pun menitikkan air mata di hadapan publik yang begitu mencintainya.
Simbol Kesetiaan dalam Dunia Sepak Bola Modern
Di tengah dunia sepak bola yang kian pragmatis dan dipenuhi rivalitas bisnis, kisah Ranieri dan Roma adalah pengingat bahwa cinta sejati terhadap klub masih ada. Ia tak pernah menyembunyikan identitasnya sebagai Romanista sejati, bahkan saat melatih tim rival. Kesetiaan dan ketulusan itulah yang membuatnya begitu dihormati, baik oleh pendukung Roma maupun publik sepak bola Italia secara umum.
Warisan yang Tak Ternilai
Claudio Ranieri memang tak menorehkan tinta emas bersama AS Roma dalam bentuk trofi, namun warisan emosional dan nilai-nilai yang ditinggalkannya lebih besar dari sekadar angka di papan skor. Ia adalah simbol kebanggaan, dedikasi, dan cinta yang murni kepada klub masa kecilnya. Air mata Ranieri di Olimpico menjadi bukti bahwa dalam sepak bola, ada ruang bagi hati yang tulus.